Kurangi Risiko Kematian Bayi Saat Bencana
A
A
A
JAKARTA - Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) mengeluhkan oleh minimnya pemahaman dan intervensi yang tepat terkait tentang standar emas pemberian makanan bayi dan anak (PMBA). Padahal, bayi dan anak usia 23 bulan (baduta) merupakan kelompok rentan yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit dan meninggal pada situasi bencana.
"Pada kondisi normal apalagi situasi bencana, menyusui dan pemberian MPASI berkualitas merupakan upaya penyelamatan nyawa, dibuktikan dari berbagai kajian pasca bencana," kata Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) dr. Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC dalam rilisnya kepada
Sindonews.
Dalam kajian pasca bencana, dia menjelaskan, angka kematian bayi usia 0-2 bulan yang tidak disusui lebih tinggi 500 persen atau 6 kali lipat, bayi usia 9-11 bulan yang tidak disusui lebih tinggi 40 persen (1,4 kali lipat) dibanding bayi ASI.
Sedangkan, angka kematian akibat pneumonia dan diare pada bayi yang tidak disusui lebih tinggi 15 dan 11 kali lipat dibanding bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan, risiko kematian pada bayi yang tidak disusui lebih tinggi 14 kali lipat, sedang risiko kematian pada bayi yang mendapat tambahan susu formula (mixed feeding) lebih tinggi 4 kali lipat.
Inisiasi menyusu dini segera setelah bayi lahir kontak kulit ke kulit di dada ibu selama minimal 1 jam menurunkan kematian neonatal sebesar 22 persen, bayi mulai menyusu dalam 24 jam pertama kehidupan menurunkan kematian neonatal sebesar 16 persen.
"Menyusui eksklusif dan terus menyusui hingga usia 1 tahun menurunkan kematian balita sebesar 13 persen, pemberian MPASI berkualitas menurunkan kematian balita sebesar 6 persen. Semua risiko tersebut ternyata berlipat 50x lebih tinggi pada situasi bencana," urainya.
Karena itu, lanjutnya, pendekatan bantuan menyusui dan MPASI berkualitas merupakan bentuk intervensi yang sangat bermakna dampaknya, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan zat gizi terbaik, tetapi juga curahan kasih sayang ikatan batin ibu dengan bayinya, serta usaha penyelamatan nyawa melalui transfer faktor proteksi (antibodi, enzim, hormon) yang hanya dapat diperoleh bayi yang disusui.
Namun sayangnya, Wiyarni menyatakan, hingga saat ini praktik pemberian makanan bayi yang tidak mengindahkan standar emas makanan bayi cenderung masih sering dijumpai, terlebih pada situasi bencana.
"Donasi susu formula yang diberikan berbagai pihak tanpa melalui koordinasi Dinas Kesehatan setempat, membawa konsekuensi meningkatnya angka kesakitan dan kematian bayi dan anak terutama karena komplikasi diare, pneumonia, dan gizi buruk. Kontaminasi sangat mungkin terjadi di kondisi kesulitan sumber air bersih, bahan bakar, dan akses layanan kesehatan," tandasnya.
Pengalaman dari musibah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 menunjukkan angka kejadian diare meningkat lebih dari 2 kali lipat pada bayi yang mendapat donasi susu formula.
Belajar dari fenomena tersebut, maka Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten bergandeng tangan dengan UNICEF dan SELASI melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan konselor menyusui, dilanjutkan dengan diseminasi kepada para kader motivator ASI dan menginisiasi peraturan serta implementasi kebijakan lokal yang secara konsisten melindungi, mempromosikan dan mendukung menyusui.
"Manfaatnya dirasakan pada tahun 2010 saat terjadi erupsi Gunung Merapi, tidak lagi ditemukan kasus bayi diare di kabupaten Klaten selama masa pengungsian. Ini sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi di kabupaten tetangga, di mana tidak ada program pelatihan konselor disertai pemberdayaan masyarakat menjadi motivator ASI dan tidak ada peraturan terkait jaminan perlindungan menyusui," pungkasnya.
"Pada kondisi normal apalagi situasi bencana, menyusui dan pemberian MPASI berkualitas merupakan upaya penyelamatan nyawa, dibuktikan dari berbagai kajian pasca bencana," kata Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) dr. Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC dalam rilisnya kepada
Sindonews.
Dalam kajian pasca bencana, dia menjelaskan, angka kematian bayi usia 0-2 bulan yang tidak disusui lebih tinggi 500 persen atau 6 kali lipat, bayi usia 9-11 bulan yang tidak disusui lebih tinggi 40 persen (1,4 kali lipat) dibanding bayi ASI.
Sedangkan, angka kematian akibat pneumonia dan diare pada bayi yang tidak disusui lebih tinggi 15 dan 11 kali lipat dibanding bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan, risiko kematian pada bayi yang tidak disusui lebih tinggi 14 kali lipat, sedang risiko kematian pada bayi yang mendapat tambahan susu formula (mixed feeding) lebih tinggi 4 kali lipat.
Inisiasi menyusu dini segera setelah bayi lahir kontak kulit ke kulit di dada ibu selama minimal 1 jam menurunkan kematian neonatal sebesar 22 persen, bayi mulai menyusu dalam 24 jam pertama kehidupan menurunkan kematian neonatal sebesar 16 persen.
"Menyusui eksklusif dan terus menyusui hingga usia 1 tahun menurunkan kematian balita sebesar 13 persen, pemberian MPASI berkualitas menurunkan kematian balita sebesar 6 persen. Semua risiko tersebut ternyata berlipat 50x lebih tinggi pada situasi bencana," urainya.
Karena itu, lanjutnya, pendekatan bantuan menyusui dan MPASI berkualitas merupakan bentuk intervensi yang sangat bermakna dampaknya, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan zat gizi terbaik, tetapi juga curahan kasih sayang ikatan batin ibu dengan bayinya, serta usaha penyelamatan nyawa melalui transfer faktor proteksi (antibodi, enzim, hormon) yang hanya dapat diperoleh bayi yang disusui.
Namun sayangnya, Wiyarni menyatakan, hingga saat ini praktik pemberian makanan bayi yang tidak mengindahkan standar emas makanan bayi cenderung masih sering dijumpai, terlebih pada situasi bencana.
"Donasi susu formula yang diberikan berbagai pihak tanpa melalui koordinasi Dinas Kesehatan setempat, membawa konsekuensi meningkatnya angka kesakitan dan kematian bayi dan anak terutama karena komplikasi diare, pneumonia, dan gizi buruk. Kontaminasi sangat mungkin terjadi di kondisi kesulitan sumber air bersih, bahan bakar, dan akses layanan kesehatan," tandasnya.
Pengalaman dari musibah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 menunjukkan angka kejadian diare meningkat lebih dari 2 kali lipat pada bayi yang mendapat donasi susu formula.
Belajar dari fenomena tersebut, maka Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten bergandeng tangan dengan UNICEF dan SELASI melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan konselor menyusui, dilanjutkan dengan diseminasi kepada para kader motivator ASI dan menginisiasi peraturan serta implementasi kebijakan lokal yang secara konsisten melindungi, mempromosikan dan mendukung menyusui.
"Manfaatnya dirasakan pada tahun 2010 saat terjadi erupsi Gunung Merapi, tidak lagi ditemukan kasus bayi diare di kabupaten Klaten selama masa pengungsian. Ini sangat kontras bila dibandingkan dengan kondisi di kabupaten tetangga, di mana tidak ada program pelatihan konselor disertai pemberdayaan masyarakat menjadi motivator ASI dan tidak ada peraturan terkait jaminan perlindungan menyusui," pungkasnya.
(nfl)